BATU BARA SOLUSI ENERGI ALTERNATIF atau MASALAH

Batubara memang menjadi primadona lebih-lebih ketika kelangkaan BBM terjadi di Indonesia bahkan di dunia yang secara otomatis membuat harga minyak mentah dunia meroket mencapai level di atas 60 US Dolar per barel. Hal ini menjadikan batubara sebagai salah satu pilihan bagi kebutuhan energi dunia karena konon cadangan batubara dunia mampu bertahan untuk 2 abad kedepan. Dengan kandungan merata hampir di semua negara di dunia tidak seperti minyak yang terbatas hanya di dominasi timur tengah saja

Saat ini diyakini, sumber batubara (resources) Indonesia sebanyak 57,8 miliar ton. Dari jumlah itu hanya 7 miliar ton yang merupakan cadangan pasti (reserves). Dengan pembagian terbesar tersebar di 3 provinsi, yaitu Sumatera Selatan (37 persen), Kalimantan Timur (35 persen), dan Kalimantan Selatan (26 persen). Kalau melihat besarnya cadangan batubara tersebut, energi ini memang relatif akan berumur panjang dibandingkan dengan minyak bumi yang saat ini cadangannya terbukti (prove reserve) hanya 6 miliar barrel (1 persen dari cadangan dunia). Jumlah sebesar itu hanya cukup untuk persediaan 16 tahun ke depan, dengan asumsi tingkat produksi rata-rata satu juta barrel per hari dan tidak ditemukan cadangan baru.

Pada tahun 2004 saja, produksi batubara Indonesia mencapai 127 juta ton dan akan ditingkatkan menjadi 150 juta ton pada tahun 2005 (Kompas, 25/2). Dengan produksi sebesar itu, tahun 2004 Indonesia mampu mengekspor batubara lebih dari 95 juta ton dan pada Tahun 2005 mencapai angka 125 juta ton dan ini telah mengubah posisi Indonesia menjadi eksportir batubara nomor dua di dunia, setelah Australia. Bisa di bandingkan dengan China, yang produksinya 1,95 miliar ton di tahun 2004, ekspor batubara mereka hanya mencapai 86,63 juta ton dan Rusia sebagai eksportir terbesar kelima dunia hanya mengapalkan 45,6 juta ton. Dengan kata lain bahwa produksi mereka sudah mampu diserap sendiri yang secara otomatis akan mengurangi ketergantungan akan energi dalam negeri yang bersumber dari minyak.

Tidak dapat dielak lagi bahwa semakin menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia, naiknya harga minyak di pasar internasional, meningkatnya konsumsi dalam negeri, keterbatasan kemampuan kilang dalam negeri, serta masih tingginya peran bahan bakar minyak dalam energy mix (68,7ada tahun 2002) dan posisi strategis minyak sebagai penghasil devisa negara semakin melemahkan kemampuan Pemerintah dalam melaksanakan kegiatan pembangunan

Dengan tingginya kuantitas eksport batubara Indonesia, berarti batubara belum terakomodasi di dalam negeri, sebab Indonesia memang masih menjadi pencinta minyak (Subsidi), padahal dunia sekarang tidak bisa lagi menggantungkan energi masa depan dengan minyak, apalagi di Indonesia di mana pembangunan yang berkembang pesat dewasa ini terutama dalam bidang industri telah mengakibatkan kebutuhan akan energi terutama tenaga listrik meningkat dari tahun ke tahun. padahal dengan batubara kebutuhan energi Indonesia bisa tercukupi untuk 200 tahun kedepan. sebagai contoh pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara mulut tambang pertama di wilayah Tanjung Enim, Sumatra Selatan saja konon ditaksir dapat menghasilkan listrik hingga kapasitas tiga ribu mega watt, atau seperlima dari total penggunaan listrik di Indonesia saat ini (15 ribu mega watt). Jumlah ini cukup untuk menerangi sebagian pulau Jawa dan seluruh Sumatera. Di samping murah dan untuk efisiensi, energi yang bersumber dari batubara bekualitas tinggi ini juga diyakini lebih aman.

Sementara investasi di bidang ini banyak terkendala oleh semisal tumpang tindih kebijakan, otonomi daerah, fiskal, dan pertambangan tanpa izin. Setidaknya hal tersebut sudah merata hamper di semua sumber endapan tambang, seperti sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Maupun di daerah kita sendiri Kalimantan Selatan.

Akibat hal tersebut maka kekayaan alam selalu berbanding terbalik dengan kesejahteraan daerah, bayangkan saja dari royalty yang ditetapkan sebesar 13.5%, hanya 4 % bagi daerah selebihnya milik pusat, dari 4 % itu dikurang pajak dan lain-lain sisanya hanya 2,3 % itupun harus dibagi lagi 20% buat pusat dan 80 % buat daerah atau sekitar 500 milyar dari jumlah 30 trilyun dari total royalty batubara Kalsel, itupun masih dibagi-bagi lagi ke kabupaten kota di kalsel (B.post, 23/9). Sementara dampak yang ditimbulkannya menjadi beban berat daerah dan masyarakat.

Kalau kemudian banyak keluar izin Kuasa Pertambangan (KP) dari kepala daerah setempat (Bupati) dalam rangka mengakomodasi pertambangan tersebut dalam bentuk kontribusi bagi daerah, maka seharusnya kita tidak menempatkan para Bupati tersebut layaknya “penjahat perang” tetapi bagi daerah mereka adalah Pahlawan, pembela hak rakyat yang tertindas oleh perusahan-persahaan besar tersebut, dan memberikan kontribusi yang nyata bagi daerah dalam bentuk PAD. Dengan hamper semua daerah yang memiliki sumber daya alam batubara di tuding Polri dengan lampu “kuning”, membuat kita bertanya, betulkah semua Bupati di salahkan, atau regulasi kita yang belum benar, atau jangan-jangan malah aparat penegak hukum kita yang membiarkan ini terjadi dalam kurun waktu yang lama sekali??? karena di wilayah Kabupaten Kotabaru pertambangan tanpa izin (PETI) ditengarai semenjak tahun 1999 sampai April 2003 saja peti di kota baru mencapai 5 juta ton atau setara dengan 120 juta US Dolar.

Sebab harus kita sadari system kapitalisme yang diterapkan oleh pusat dengan disentralisasi “setengah hati” membuat model “penjajahan” gaya baru yang dilakukan oleh bangsa sendiri. Dan gejolak rasa keadilan seperti inilah bila tidak diantisipasi dan diakomodasi sedini mungkin bisa menjadi pemicu bagi bermunculannya gejala-gejala disintegrasi bangsa seperti yang terjadi di daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Aceh dan Papua.

Tapi mudah-mudahan harapan kita solusi energi masa depan ini tidak malah menjadi masalah dan bencana baru bagi daerah kita dan masa depan anak cucu kita.

0 komentar:

Posting Komentar