Seks sebagai urusan
kelamin tak pernah kehabisan atau kehilangan daya sensasionalnya bagi siapapun
dan di zaman apapun. Selalu saja ada perkembangan-perkembangan baru dalam
fenomena seks sebuah masyarakat, meski sexual
act yang mendasar sebenarnya begitu-begitu saja. Tetapi memang manusia
seluruhnya adalah seksual. Seluruh tingkah lakunya selalu diresapi oleh
identitas seksnya. Yakni gradasi kelelakiannya (jika ia lelaki) atau
keperempuannya (jika ia perempuan). Implikasinya kemudian adalah terjalinnya
korelasi secara otomatis antara seksualitas dengan serangkaian konteks sosial
yang melingkupinya. Seks pun kemudian menjadi fenomena yang multidimensional,
dan inilah yang menjadikan seks menjadi potensial untuk “bercerita” dan mengungkap
tentang manusia. Karenanya, mempelajari fenomena seks adalah mempelajari
fenomena manusia seutuhnya.
Uniknya lagi, nilai
komersial seks juga selalu sangat tinggi sehingga membuat produsen diberbagai
bidang terus berlomba-lomba mengeksploitasinya sebagai sebuah komoditi. Koran
dan berbagai majalah nyaris semuanya menggelar rubrik-rubrik khusus tentang
problem seks sebagai persoalan yang seakan tidak kalah pentingnya dibandingkan
dengan persoalan-persoalan serius seperti krisis ekonomi, krisis lingkungan,
krisis kebudayaan dan krisis-krisis lain yang telah melanda dunia. Dunia
perfilman dan periklanan malah lebih gamblang lagi dalam memanfaatkan seks
untuk menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. Heboh iklan Calvin Klien atau
heboh film Showgirl dan Striptease serta kasus cover majalah Matra dan Popular,
adalah contoh kecil yang bisa sangat panjang daftaranya.
Akibat langsung dari
pengeksploitasian seks sebagai sebuah komoditi adalah pereduksian penegertian
orang terhadap seksualitas menjadi sekedar genitalitas
dan organ sekuner lainnya belaka. Seks dianggap sebagai sesuatu yang
biologis-fisik semata sehingga maknanya hanya terfokus pada persetubuhan atau intercourse saja, sementara dimensi lain
dari seks seperti dimensi behavioural,
klinis-sosial dan juga sosio-kultural, menjadi terabaikan. Seks akhirnya dipandang
sebagai barang konsumsi belaka, dan bila kita telah memandang dengan cara ini,
maka konsumsi ini bisa saja menjadi tidak terkontrol lagi karena konsumerisme
memang dunia tanpa batas dan arah. Perkembangan dalam fenomena seks masyarakat
modern jelas memiliki indikasi ini. Berbagai gejalanya, antara lain bisa
dilihat dari perkembangan bisnis pornografi dewasa ini, sebagaimana dilaporkan
oleh majalah U.S News & Word Report edisi 10 Januari 2007. Menurut laporan
itu, hanya untuk nonton film di tv kabel saja, orang Amerika sampai
menghabiskan duit 150 juta US dolar.
Angka ini, andaikan
dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan dinegara kita, jelas bisa
berarti cukup besar. Tapi pengandaian ini sepertinya tidak relevan juga karena
pemuasan sebuah fantasi memang kerap berharga sangat mahal. Tak jarang malah
harus dibayar dengan jiwa orang lain seperti pada kasus-kasus perkosaan yang
diakhiri dengan pembunuhan. Belum lama ini, malah seorang remaja dengan
entengnya mendorong pacarnya yang hamil kearah truk yang melaju kencang,
kejadian di Puspitek, Pamulang, Tangerang, itu akhirnya menewaskan Lasmi (16)
dan janin yang dikandungnya (majalah Sinar, 10 Mei 1997). Kus (18) sang pacar
memang lantas diringkus juga oleh pihak yang berwajib, tapi apakah masalahnya
selesai begitu saja? Secara hukum mungkin ya, tapi sama sekali tidak bila kita
mendiagnosa permasalahannya secara mendasar. Setidaknya ada dua persoalan
mendasar dalam kasus ini. Pertama soal kebebasan seks dan kedua soal kekerasan dalam
kaitannya dalam perilaku seks manusia.
Dalam soal kebebasan,
perkembangan yang terjadi dewasa ini juga membuat masalahnya semakin runyam.
Kebebasan seks ini kini tidak bisa lagi dibatasi sebagai soal extra marital sex atau pre marital sex belaka. Kebebasan seks kini juga adalah soal hak-hak kelompok
homo seksual, soal nasib dan kehidupan kaum transseksual, soal aborsi, soal eksistensi kaum biseksual
dan soal-soal lain yang menjadi fenomena seks masyarakat modern selama beberapa
dekade ini. Majalah Esquire edisi
april 1995 bahkan menuliskan laporan utama tentang era baru dalam seksualitas
manusia, yakni era Transgender Revolution.
Telah terjadi krisis masculiniti
pada diri kaum lelaki sehingga sekarang ini makin banyak saja kaum lelaki yang
memutuskan untuk menjadi kaum perempuan dengan mengoperasi kelamin mereka. The Third Sex, begitu John Taylor
menamakan mereka dalam laporan utama majalah Esquire itu. Persoalan ini hanyalah salah satu persoalan pelik yang
terjadi dalam kehidupan seks masyarakat modern dengan segala pernik dan rupanya
yang terlihat dalam berbagai fenomena
perilaku seksual.
Fantasi-fantasi seks
juga makin hari nampaknya makin mengerikan saja belakangan ini, kekerasan
dizaman ini sepertinya telah meresap begitu dalam dialam bawah sadar kita.
Televisi, video dan bioskop dengan gencar setiap harinya menyiarkan itu lewat
film-film laga yang sensual. Sensual karena hampir dalam semua film-film
tersebut, seks juga menjadi bumbu utamanya sehingga secara langsung korelasinya
antara kedua hal tersebut (seks dan kekerasan) makin kental dan kuat. Dengan
referensi semacam ini, secara perlahan tapi pasti, fantasi seksual kita
digiring kearah kekerasan sebagai wahananya. Pada kalangan generasi muda yang
baru memasuki masa puber, yang rata-rata tidak punya bekal pemahaman yang
mendasar tentang seksualitas, hal ini menjadi sangat riskan karena bisa jadi
film-film itulah satu-satunya referensi yang mereka miliki sebagai sumber resmi
yang tidak dilarang. Referensi yang lain seperti buku dan majalah porno (mulai
yang stensilan hingga Penthouse dan Hustler) atau internet sebagai media baru yang sangat menjanjikan
bagi pornografi, selain lebih buruk juga jelas hanya bisa mereka nikmati secara
sembunyi-sembunyi.
Bahaya terbesar memang
lebih mengancam mereka, orang-orang muda yang baru beranjak remaja atau yang
popular disebut sebagai ABG (Anak Baru Gede). Perkembangan pelacuran anak-anak
yang makin melejit pesat belakangan ini barangkali bisa dianggap sebagai outpout langsung dari indikasi ancaman
bahaya tersebut terhadap anak-anak baru gede. Dalam konggres dunia untuk menentang
Eksploitasi Seksual Komersial terhadap anak di Stockhlom (Agustus 1996) antara
lain disebutkan bahwa saat ini sedikitnya satu juta pelacur anak di Asia
melayani 10 hingga 12 juta pelanggan laki-laki (Dewasa) setiap minggunya. suatu
kemajuan yang tak masuk akal dari perilaku seks masyarakat modern saat ini
adalah tumbuh dan berkembangnya orang-orang pengindap pedofilia yang berkeliaran melintas batas dari suatu negara ke negara
lain sehingga lewat jalur wisata, wabah ini menular seperti epidemic AIDS. Pelacuran anak dan
berbagai bentuk pengeksploitasian seks terhadap anak-anak secara pasti telah
menjadi masalah internasional yang membutuhkan perhatian ekstra serius dari
semua negara, begitu ditegaskan Ron O’Grady, Koordinator internnasional dalam
konggres tersebut.
Indonesia, jelas
menjadi bagian yang cukup dekat juga dengan ancaman bahaya epidemi tersebut.
Berbagai kasus bisa menjadi indikasi yang jelas dari kenyataan ini. Bahkan
diluar yang monumental seperti kasus Robot Gedeg, hampir setiap hari juga kita
bisa membaca berita-berita ngeri tentang kekerasan dan pengeksploitasian seks
terhadap anak-anak maupun orang dewasa. Praktik-praktik pedofilia oleh orang asing seperti yang dilakukan oleh Robert
“dolly” Duun dan eks diplomat Australia di Indonesia, William Steward Brown
yang terungkap di Lombok pertengahan tahun 1996, juga adalah indikasi bahwa
Indonesia sangat mungkin menjadi sasaran selanjutnya dari jaringan operasi pedofilia internasional di Asia
Tenggara. Ancaman ini, parahnya lagi seperti gayung bersambut dengan kondisi
riil dari generasi ABG yang cepat sekali dewasa secara seksual meski umur
mereka masih belasan tahun. Mereka seperti “Mangga Karbitan” yang kelihatan
sudah menjadi sangat ranum tapi sebenarnya belum waktunya dipetik, apalagi
dipajang, dijual dan digerogoti dengan rakus. Dan tidak hanya dikota-kota
besar, para ABG itu menjadi korban tapi juga di desa-desa dan kota-kota kecil.
Berita tentang puluhan anak-anak dibawah umur yang memenuhi lokalisasi Kramat
Tunggak sesudah Lebaran, adalah salah satu contoh riil.
Semua
persoalan-persoalan ini mungkin tidak begitu kita sadari ancaman dan bahaya
riilnya. terutama bila kita berfikir secara mikro, hal ini mungkin dianggap tak
lebih dari persoalan yang remeh belaka, yang jika diabaikan sekalipun, juga tak
apa. Tapi menyikapi berbagai fenomena dan persoalan ini dengan cara seperti itu
bisa berakibat fatal bagi kelangsungan
hidup dan kebudayaan masyarakat modern karena seks dalam pengertiannya
yang paling luas menurut Malinowski
adalah lebih bersifat sosiologi dan kultural daripada sekedar hubungan badan antara dua
individu. Begitu dikatakan Malinowski dalam The
Sexual Life of Savages (New York, Harcourt, Brace & World, p.xxiii,
1929). Bagaimana fundamentalnya seks sebagai sebuah elemen pembentuk masyarakat
juga bisa kita temukan dalama pemikiran Claude Levi-Strauss. Antropolog yang
dikenal sebagai Bapak dari pemikiran strukturalisme ini menegaskan bahwa seks
merupakan suatu permasalahan mendasar yang terkait erat dengan bentuk-bentuk
elementer dari pola kekerabatan dalam masyarakat primitif. Hasil studinya yang
dituangkan dalam buku The Elementary Structures
of Kindship antara lain mengupas secara mendalam tentang larangan incest yang dianggap sebagai dasar-dasar
dari hubungan-hubungan social sehingga pelanggaran terhadap larangan ini
seperti akan menumbangkan tiang-tiang sebuah masyarakat. Strauss selanjutnya
menegaskan bahwa melalui larangan incest
inilah, lahir struktur kultur dari suatu masyarakat. Dalam pembahasannya
terhadap pola-pola kekerabatan masyarakat primitif tersebut, Strauss telah
berhasil memperluas pengertian seks sebagai hubungan laki-perempuan secara umum
yang pengaturan dan ketentuan-ketentuannya kemudian melahirkan kultur. Inti penemuannya
pertolak dari pemikirannya tentang larangan incest
yang memang universal karena bisa ditemukan dalam hampir semua kebudayaan
manusia. Permasalahan keluarga dan masalah aturan perkawinan dalam sebuah
masyarakat otomatis terkupas juga oleh Strauss dengan mendalami larangan incest dalam perilaku seksual manusia. Hubungan
seksual, dengan demikian telah ditegaskan olehnya sebagai bentuk interaksi sosial
yang sangat elementer dan mencerminkan nilai-nilai masyarakat serta menyangkut
soal adat dan lembaga-lembaga lain dari sebuah masyarakat.
Bertolak dari pemikiran
Strauss yang gemilang tersebut, rasanya tidak berlebihan bila kita menjadi
khawatir melihat perkembangan perilaku seksual masyarakat saat ini. Konsumerisme
yang habis-habisan mengkampanyekan diri sebagai ideologi masyarakat modern,
seperti telah dijelaskan diatas, telah memacu arus liberalisasi seks sehingga
memporak-porandakan segala batas dan arah yang semestinya menjadi acuan. Sayangnya,
diluar pemikiran konteks Strauss, batas dan arah tentang aturan main dari
seksualitas manusia selama ini memang tak pernah jelas karena sistem yang
otoriter dan banyaknya kepentingan lain dalam pengaturan kehidupan seks
manusia. Larangan incest sendiri
misalnya, kini juga banyak dilanggar dimana-mana. Berbagai kasus yang
diberitakan dimana-mana. Berbagai kasus yang diberitakan di negara kita saja
sudah sangat mencekam sebenarnya tidak hanya seorang ayah yang menyetubuhi
anaknya, tapi juga kasus seorang anak yang menyetubuhi ibunya sendiri. Kasus dramatis
yang terjadi di daerah Jawa Timur ini bahkan berakhir dengan melayangnya nyawa
sang ayah oleh anak tersebut.
(dikutip
dari buku: Refleksi atas Kelamin, Potret Seksualitas Manusia Modern, karangan: FX. Rudy Gunawan, terbitan: Indonesia
Tera, Januari 2000)