BATUBARA dan RASA KEADILAN


Menyikapi banyaknya tudingan dugaan keterlibatan para kepala daerah (bupati) di wilayah provinsi Kalimantan Selatan sehubungan dengan penertiban pertambangan batubara yang dilakukan oleh pihak kepolisian membuat kita bertanya-tanya apa yang salah dalam pengelolaan emas hitam tersebut?

Kalau kemudian izin kuasa pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh Bupati setempat merupakan suatu pelanggaran, bukankah sudah ada Kepmen yang memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengeluarkan izin pertambangan?

Sebab kalau hal ini menimpa hampir seluruh kabupaten di Kalimantan Selatan, apakah tidak lebih arif bila kita tidak hanya menyalahkan pemerintah daerah saja, sebab dengan banyaknya indikasi ini membuat kita bertanya jangan-jangan ada yang tidak relevan dengan regulasi Pertambangan kita. Sebab kalau tidak, akan menjadi sebuah “jebakan” bagi siapa pun yang akan menjadi kepala daerahnya.

Sebenarnya penambangan tanpa izin atau yang sering dikenal dengan istilah PETI di wilayah Kalimantan Selatan sudah ada sejak lama, khususnya di Kabupaten Tanah Bumbu, sebelum memisahkan diri dari Kabupaten Kotabaru. Sejarah ini akan menjadi cerita yang panjang karena pada tahun 2001 Puskopol maupun Primkopol juga ikut terlibat dalam pengangkutan hasil tambang emas hitam ini.

Dalam rangka mengurangi aktivitas dan mengontrol PETI ini Pemerintah Daerah Tanah Bumbu yang baru terbentuk pada tahun 2003 mengeluarkan kebijakan terhadap tambang rakyat yang berada dilokasi PT. Arutmin Indonesia, berupa hubungan kemitraan antara PT. Arutmin Indonesia selaku pemilik Kuasa Pertambangan (KP) dengan Perusahaan Daerah (PERUSDA) selaku pengelola dan masyarakat penambang selaku pemilik lahan, yang kemudian dalam perkembangannya Perusda ini oleh PT. AI diubah fungsinya dari pengelola hanya menjadi konsultan saja.

Sedangkan untuk areal putih (tanpa pemilik) di keluarkan izin Kuasa Pertambangan (KP), sehingga aktifitas pertambangan menjadi terkontrol dan memberikan kontribusi kepada daerah setempat. Kalau kemudian pada perkembangan selanjutnya terjadi over lapping (tumpang tindih) perizinan antara pusat dan daerah maka hal tersebut hendaknya diselesaikan dengan cara duduk bersama serta koordinasi antara Pemerintah Daerah, Perusahaan Pemegang Kuasa Lahan dan Penambang pemilik KP.

Masalah
Pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa permasalahan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu di sebabkan beberapa hal:

Masalah Warisan
Semenjak masih menjadi wilayah kabupaten Kotabaru sudah marak terjadi penambangan tanpa izin (PETI), demikian juga dampaknya berupa kerusakan lingkungan sudah lama terjadi sebelum Kabupaten Tanah Bumbu didirikan. bayangkan semenjak tahun 1999 sampai 2003 saja PETI di Kota baru mencapai 5 juta ton atau setara dengan 120 juta US Dolar. Hal ini penting untuk diketahui sebab akar permasalahannya akan menjadi jelas sehingga kita tidak membuat kesimpulan yang keliru. pada waktu Kabupaten Tanah Bumbu dibentuk sudah ada 64 KP produk Kotabaru, dan semenjak tahun 2001 Primkopol dan Puskopol ikut mengakomodasi tambang batubara tersebut khususnya dalam hal pengangkutan.

Keadilan
Masalah keadilan menjadi issu sentral, bagaimana tidak, sistem Indonesia yang masih terjerat dengan kapitalisme membuat sumber daya alam selalu berbanding terbalik dengan kesejahteraan daerah. sementara daerah yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah tidak mendapatkan apa-apa kecuali kerusakan lingkungan. Kalau boleh saya analogikan seperti tikus yang mati dilumbung padi. kalaupun mendapat kompensasi sangat kecil nilainya cuma sekitar 1,3 % dari royalty perusahaan. Selain hasil yang kecil, eksploitasi ini juga menimbulkan dampak lingkungan yang secara ekonomis sangat merugikan daerah setempat baik berupa kerusakan jalan maupun pencemaran, bahkan banjir yang sering melanda daerah ini pun tidak terlepas dari aktivitas eksploitasi tersebut.

Jangan heran bila melihat kehidupan masyarakat Tanah Bumbu sangat kontras dengan kekayaan alam daerahnya. Bisa dibayangkan kalau seandainya perusahaan-perusahaan besar yang berlabel pusat tersebut menerapkan sistem bagi hasil maka tanpa bekerjapun masyarakat Tanah Bumbu bisa hidup mewah dalam10 tahun kedepan.

Rasa keadilan inilah yang kadang menjadi pemicu disintegrasi di beberapa daerah kaya sumber daya alam di Indonesia, sebut saja Aceh dan Papua misalnya.

Solusi
Kita percaya bahwa aparat hukum dalam hal ini Polri akan professional dalam melihat masalah ini secara utuh tidak parsial dan sepotong-sepotong, sehingga tujuan akhir hukum berupa keadilan bisa ditegakkan. serta harus adanya regulasi yang berorientasi pada konsep otonomi daerah dan disentralisasi sehingga memberikan suatu gerak langkah secara utuh bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan roda pemerintahan dan kebijakan bagi kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Di samping harus ada sistem koordinasi yang baik secara continue antar lembaga maupun petugas teknis guna menghindari kekeliruan di lapangan.

Hendaknya luas lahan dikeluarkan izin oleh pusat dibatasi menyesuaikan dengan kemampuan perusahaan tersebut, sehingga tidak terjadi lahan yang mubazir dan terbengkalai.

Royalty yang diberikan kepada daerah harus memberikan rasa keadilan atau setidaknya memberikan porsi yang lebih besar kepada daerah untuk mengembangkan daerahnya.

Thanks

1 komentar:

PERLU Pemerintah Pusat lebih arif lagi menyikapi permasalahan tambang ini sehingga rasa keadilan akan lebih cepat terujud .

Posting Komentar