Sebuah realitas yang tidak bisa terbantahkan, bahwa dua sistem yang selama ini mewarnai dinamika berekonomi umat (baca: kapitalisme dan sosialisme) telah gagal mencapai cita-citanya. Sejak runtuhnya sosialisme berikut perencanaan ekonomi terpusatnya dibekas Uni Soviet dan Eropa Timur, telah memunculkan doktrin kapitalis dengan karakteristik liberalismenya sebagai pemain tunggal di atas pentas permainan perekonomian dunia yang diikuti oleh kebanggaan pendukungnya dengan menggaungkan apa yang kita kenal dengan the end of history.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, benarkah kemenangan tersebut merupakan puncak dari keberhasilan sistem kapitalis dalam membangun tatanan masyarakat sejahtera (welfare society) di atas pijakan keadilan? Ataukah hal itu justru merupakan tahapan sejarah yang selalu pasang surut, dan tak terdeteksi kapan berakhirnya? Jika sosialisme runtuh oleh karena wataknya yang kontradiktif dan tidak adil, lalu apakah ini bermakna bahwa kapitalisme telah sukses mengatasi kontradiksi, dan ketidak adilan tersebut? Kenyataannya tidak
Sangat banyak cerita kegagalan tersebut, bagi Bangsa Indonesia, seyogyanya musibah krisis multidimensional yang dialami pada akhir tahun 1997, menjadi pelajaran yang sangat berharga. Betapa tidak, akibat dari krisis tersebut, membuat kita terhina dina di mata dunia internasional. Kita telah menjadi pengemis di tengah hamparan lahan yang diatasnya ditaburi ratusan, ribuan, bahkan jutaan mutiara anugrah Allah SWT. Kalau demikian halnya, masihkah kita terus mengkiblatkan diri pada sistem kapitalis (walaupun kita agak segan mengakui bahwa pada dasarnya kita memang pengikut setia sistem tersebut) yang justru menghantarkan kita pada jurang kehancuran? Ingat. Indonesia telah masuk dalam kategori SILIC (Severely Indebted and Low Income Countries) atau negara berutang super berat dan miskin. Bagaimana tidak utang kita saja Rp. 1.282 trilyun, yang konon kalau dibentangkan lembaran uang pecahan Rp.100.000nya mencapai 1,9 juta km. Fantastis dan luar biasa, kepala kita terbebani utang Rp. 5,6 jt per orang (B.Post, 16 Syaban 1426 H).
Belum lagi kalau kita berbicara tentang nilai tukar rupiah yang telah terjun bebas tak terkendali dengan menembus batas “serem” psikologis, semua itu tidak lepas dari kebijakan-kebijakan kapitalis yang kita anut, dalam kepanikan tersebut tersemburat suatu keinginan kembali kepada konsep mata uang dinar dan dirham, kalau bangsa-bangsa eropa saja bisa menggunakan satu mata uang “sakti” euro, kenapa kita bangsa serumpun dan mayoritas muslim tidak kembali ke dinar dirham yang memang mempunyai nilai intrinsic emas dan perak sebagai means of currency dan means of exchange yang anti inflasi, anti spekulasi dan anti kezaliman. tidak tanggung-tanggung menteri sekaliber Meneg BUMN yang melempar wacana tersebut (B.Post 12 Sya’ban 1426 H), permasalahannya adalah apakah BI sebagai otoritas moneter “ikhlas” melepas “benda keramat” rupiahnya untuk digantikan dengan dinar dan dirham?
Belum lagi kalau kita mengingat kekejaman model ekonomi ini yang telah menorehkan luka pedih bagi rakyat dengan kasus bank rekap dimana pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp 60 trilyun setiap tahun kepada bank-bank tersebut dalam kondisi Negara miskin dan deficit APBN, bank-bank tersebut malah menari-nari dapat uang tanpa keringat they are rich by doing not thing. Padahal mereka adalah pengkhianat rakyat, bagaimana tidak rata-rata LDR bank konvensional dibawah 60%, artinya uang yang disimpan masyarakat tidak diusahakan tetapi “ngendon” dan menetek bunga segar SBI, dalam kondisi rupiah jatuh mereka memanfaatkan dengan berspekulasi menggunakan tabungan rakyat buat berjudi di valas.
Mendiagnosa kenyataan di atas akan membawa kita pada kesimpulan bahwa kemiskinan dan keterpurukan bangsa kita bukan tercipta karena factor alamiah ( absolute) ataupun kemiskinan yang disebabkan oleh factor kultural, akan tetapi kemiskinan tersebut lebih disebabkan oleh pengambilan kebijakan dan sistem yang salah dari para “decision maker” negeri ini (kemiskinan stuktural). Sekali lagi. Masih tegakah kita menyaksikan bangsa ini terus menerus berada pada jurang kehancurannya dengan terus mempertahankan dan menghambakan diri pada sistem tersebut (baca; kapital)?
Pada akhirnya kita memang harus cermat dalam mendiagnosa segala penyakit yang menjangkiti bangsa ini. Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, sejarah pulalah yang kemudian mengajak kita untuk melakukan pencarian lain, rancang bangunan sistem ekonomi yang dapat menawarkan solusi atas kontradiktif dan ketidak adilan tersebut.
Bagi umat Islam jelas hanya ekonomi yang memiliki nilai-nilai keilahianlah yang bisa memberikan semua unsur yang diperlukan untuk kesejahteraan manusia (welfare society) dengan tuntunan persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi. Sistem ini bukan hanya mampu memberantas ketidak seimbangan (unbalanced), tetapi juga dapat mewujudkan suatu realokasi sumber-sumber daya sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan “efisiensi” dan “keadilan” dapat dicapai secara bersamaan.
Bukankah Islam telah memberikan konsepnya secara lengkap untuk kita pedomani dalam menggerakkan aktivitas ke eksistensian kita di dunia ini. ALLAH telah menegaskan, bahwa kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi, apabila kita tidak secara utuh mempedomani konsep tersebut (baca; Alquran dan Sunnah). (Albaqarah: 58)
Sangat ironis kalau sebagai umat Islam kita malah berkiblat pada ekonomi liberalis kapitalis yang berpegang pada “kitab suci”nya Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth Nation (atau yang kita kenal sebagai The Wealth Nationnya Adam Smith. Dan ekonomi sosialis komunis yang berpegang pada “kitab suci” Das Capitalnya Karl Max. Sementara kita sendiri punya kitab yang maha mulia yang menjadi acuan dan pedoman dalam segala hal yaitu Alquran dan Hadits Nabi
Saatnyalah bagi kita yang masih mengimani Alquran sebagai pedoman hidup dan hadits sebagai panduan aktivitas dalam memperkenalkan kepada sejarah bahwa kita telah menemukan sebuah rancang bangun sistem ekonomi yang dapat menghantarkan umat manusia mencapai kesejahteraannya di atas pijakan keadilan. Islam memiliki solusi terhadap distorsi yang selama ini melingkupi bangunan ekonomi konvensional.
Pada tataran teori, ekonomi Islam menyumbangkan beberapa prinsip-prinsip dasar dalam bangun ekonomi seperti ekonomi tanpa bunga. Bangun ekonomi seperti ini sangat berbeda dengan ekonomi konvensional yang menempatkan suku bunga sebagai variable yang sangat menentukan kecenderungan konsumsi dan investasi. sementara tingkat kecenderungan investasi bagi konsumen muslim akan lebih besar dari pada konsumen konvensional. Hal ini disebabkan karena konsumen muslim dibatasi dalam hal konsumsi bukan hanya pada jenis barang dan jasa yang halal saja tetapi juga pembatasan jumlah konsumsi. Dengan demikian kecenderungan investasi bagi konsumen muslim relative akan lebih besar. Hal tersebut disebabkan konsumen muslim juga didorong oleh keinginan untuk meningkatkan zakat, infaq dan sedekah (ZIS) nya. Perlu diingat bahwa fungsi utilitas konsumen muslim tidak hanya ditentukan oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsinya, tetapi juga jumlah zakat yang dikeluarkannya. sehingga ZIS merupakan variable yang sangat berpengaruh terhadap penentuan investasi seorang konsumen muslim.
Factor utama yang akan membedakan fungsi investasi antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah larangan sukubunga dan spekulasi. Larangan spekulasi dalam ekonomi Islam berimplikasi terhadap prilaku ekonomi antara lain: (a) pelaku ekonomi Islam tidak akan menyalurkan investasinya pada usaha yang hanya mencari keuntungan dari capital gains tetapi investasi harus dibuat menjadi aktif dan nyata yang akan menggerakkan ekonomi secara riil; (b) tidak adanya permintaan akan uang untuk tujuan spekulasi (speculative motive) membuat perekonomian akan lebih stabil; (c) karena tidak ada aktivitas spekulasi dalam pasar modal, maka dalam jangka pendek tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu investasi (marginal efficiency of capital) akan lebih stabil.
Islam juga melarang dana tidak produktif (hoarding idle assets) sekurang-kurangnya asset tersebut akan terkena zakat bila memenuhi nisab dan haulnya sebab ongkos opportunitas (opportunity cost) tidak akan menjadi nol terhadap harta yang tidak atau kurang produktif, sementara asset yang diinvestasikan tidak terkena beban zakat kecuali hanya hasil (return) dari investasi tersebut yang akan dikenai zakat. Implementasi dari ajaran ini adalah bahwa ekonomi Islam mendorong investasi sebagai alternative dari para pemegang uang (asset) yang kurang produktif atau “uang dibawah bantal”. dengan kata lain ekonomi Islam cenderung lebih dinamis dibandingkan ekonomi konvensional.
Sebagai gambaran sederhana ekonomi Islam mempunyai beberapa prinsip-prinsip dasar yang membedakannya dengan ekonomi konvensional:
1. Di dalam ekomomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia yang harus dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin (tidak mubazir: Al Israa: 26,27) dalam memproduksi barang dan jasa. Produksi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia guna mewujudkan kesejahteraan bersama (collective principle) sebagai pemakmuran bumi (huud: 61), yang kemudian akan dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat nanti (dimensi eskatologis). Prinsip ini berimplikasi penting terhadap konsep kepemilikan asset dan alat produksi. Karena itu aktivitas ekonomi seorang muslim didorong oleh motivasi impersonal dalam rangka memenuhi tanggungjawabnya sebagai orang yang beriman, semata-mata didiorong oleh motivasi untuk memperoleh ridho allah swt. Motivasi seperti ini berbeda dan bertentangan dengan prinsip kapitalis yang mendasarkan (motivasinya) pada kepentingan diri sendiri (self interest principle)
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat atau faktor produksi. Pemilikan pribadi (individu) bersifat tidak mutlak, karena kepemilikan mutlak hanya oleh Maha Pencipta Allah SWT (An-Najm: 31; Thaha: 6; Yunus: 66). Pemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan merupakan titipan (amanah) Allah kepada manusia. Alat dan faktor produksi di tangan manusia hanya bersifat penguasaan dalam bentuk pemanfaatan dan pengaturan sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Islam menghargai kekayaan pribadi sebagai amanah suci yang harus dinikmati dan dimanfaatkan untuk kepentingan semuanya terutama untuk kaum fakir miskin dan yang membutuhkannya. Karena itu zakat, infak dan sadaqah merupakan institusi (variable) yang sangat berperan dalam ekonomi Islam.
3. Islam menolak (tidak membenarkan) pendapatan yang diperoleh secara tidak halal (bathil), seperti pencurian, penipuan, kecurangan, penyuapan, penjualan barang-barang dan jasa yang haram, penggunaan kiat-kiat yang manipulatif, keuntungan yang berlebihan dengan cara yang bersifat tidak terpuji, penimbunan barang dan penggunaan iklan yang mengelabui dan tidak wajar.
4. Pemilikan (penguasaan) kekayaan pribadi termasuk factor dan alat produksi sebagai capital produktif yang akan mendorong peningkatan produksi nasional untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pola pembagian harta (pendapatan) termasuk warisan harus bersifat produktif dan menyebar keseluruh sistem ditribusi, terutama penyebaran (transfer) dari golongan kaya kepada golongan miskin melalui institusi ZIS dan kerjasama. Prinsip ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi capital yang terpusat pada segelintir orang atau kelompok yang memperburuk distribusi pendapatan.
5. Penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama dengan landasan ketauhidan, keikhlasan, kejujuran dan keadilan serta hanya mengharapkan keuntungan yang wajar. Ekonomi Islam menolak segala macam bentuk eksploitasi yang mengejar keuntungan yang maksimum (Al Imran: 130)
Dan realitas kekinian telah menunjukkan bahwa dengan sistem syariah, keadilan berekonomi bisa ditegakkan yang akan berujung pada terciptanya sebuah stabilitas ekonomi yang memungkinkan semua pihak dapat mengakses secara adil potensi-potensi ekonomi yang tersedia. Industri perbankan misalnya dengan prinsip bagi hasilnya telah menunjukan eksistensinya dari hantu “negative spread” yang menjadi momok menakutkan bagi bank konvensional.
Kalau demikian adanya maka tidak ada tawar menawar lagi, obat mujarab bagi masalah perekonomian Indonesia adalah ekonomi Islam dari sudut pandang manapun ekonomi ilahiah (Islam) adalah sebuah keharusan bagi kebangkitan ekonomi Indonesia. wallahu ‘alam bishshawaf.
Sangat banyak cerita kegagalan tersebut, bagi Bangsa Indonesia, seyogyanya musibah krisis multidimensional yang dialami pada akhir tahun 1997, menjadi pelajaran yang sangat berharga. Betapa tidak, akibat dari krisis tersebut, membuat kita terhina dina di mata dunia internasional. Kita telah menjadi pengemis di tengah hamparan lahan yang diatasnya ditaburi ratusan, ribuan, bahkan jutaan mutiara anugrah Allah SWT. Kalau demikian halnya, masihkah kita terus mengkiblatkan diri pada sistem kapitalis (walaupun kita agak segan mengakui bahwa pada dasarnya kita memang pengikut setia sistem tersebut) yang justru menghantarkan kita pada jurang kehancuran? Ingat. Indonesia telah masuk dalam kategori SILIC (Severely Indebted and Low Income Countries) atau negara berutang super berat dan miskin. Bagaimana tidak utang kita saja Rp. 1.282 trilyun, yang konon kalau dibentangkan lembaran uang pecahan Rp.100.000nya mencapai 1,9 juta km. Fantastis dan luar biasa, kepala kita terbebani utang Rp. 5,6 jt per orang (B.Post, 16 Syaban 1426 H).
Belum lagi kalau kita berbicara tentang nilai tukar rupiah yang telah terjun bebas tak terkendali dengan menembus batas “serem” psikologis, semua itu tidak lepas dari kebijakan-kebijakan kapitalis yang kita anut, dalam kepanikan tersebut tersemburat suatu keinginan kembali kepada konsep mata uang dinar dan dirham, kalau bangsa-bangsa eropa saja bisa menggunakan satu mata uang “sakti” euro, kenapa kita bangsa serumpun dan mayoritas muslim tidak kembali ke dinar dirham yang memang mempunyai nilai intrinsic emas dan perak sebagai means of currency dan means of exchange yang anti inflasi, anti spekulasi dan anti kezaliman. tidak tanggung-tanggung menteri sekaliber Meneg BUMN yang melempar wacana tersebut (B.Post 12 Sya’ban 1426 H), permasalahannya adalah apakah BI sebagai otoritas moneter “ikhlas” melepas “benda keramat” rupiahnya untuk digantikan dengan dinar dan dirham?
Belum lagi kalau kita mengingat kekejaman model ekonomi ini yang telah menorehkan luka pedih bagi rakyat dengan kasus bank rekap dimana pemerintah harus membayar bunga obligasi sebesar Rp 60 trilyun setiap tahun kepada bank-bank tersebut dalam kondisi Negara miskin dan deficit APBN, bank-bank tersebut malah menari-nari dapat uang tanpa keringat they are rich by doing not thing. Padahal mereka adalah pengkhianat rakyat, bagaimana tidak rata-rata LDR bank konvensional dibawah 60%, artinya uang yang disimpan masyarakat tidak diusahakan tetapi “ngendon” dan menetek bunga segar SBI, dalam kondisi rupiah jatuh mereka memanfaatkan dengan berspekulasi menggunakan tabungan rakyat buat berjudi di valas.
Mendiagnosa kenyataan di atas akan membawa kita pada kesimpulan bahwa kemiskinan dan keterpurukan bangsa kita bukan tercipta karena factor alamiah ( absolute) ataupun kemiskinan yang disebabkan oleh factor kultural, akan tetapi kemiskinan tersebut lebih disebabkan oleh pengambilan kebijakan dan sistem yang salah dari para “decision maker” negeri ini (kemiskinan stuktural). Sekali lagi. Masih tegakah kita menyaksikan bangsa ini terus menerus berada pada jurang kehancurannya dengan terus mempertahankan dan menghambakan diri pada sistem tersebut (baca; kapital)?
Pada akhirnya kita memang harus cermat dalam mendiagnosa segala penyakit yang menjangkiti bangsa ini. Sejarah telah memberikan pelajaran berharga bagi kita, sejarah pulalah yang kemudian mengajak kita untuk melakukan pencarian lain, rancang bangunan sistem ekonomi yang dapat menawarkan solusi atas kontradiktif dan ketidak adilan tersebut.
Bagi umat Islam jelas hanya ekonomi yang memiliki nilai-nilai keilahianlah yang bisa memberikan semua unsur yang diperlukan untuk kesejahteraan manusia (welfare society) dengan tuntunan persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi. Sistem ini bukan hanya mampu memberantas ketidak seimbangan (unbalanced), tetapi juga dapat mewujudkan suatu realokasi sumber-sumber daya sedemikian rupa sehingga tujuan-tujuan “efisiensi” dan “keadilan” dapat dicapai secara bersamaan.
Bukankah Islam telah memberikan konsepnya secara lengkap untuk kita pedomani dalam menggerakkan aktivitas ke eksistensian kita di dunia ini. ALLAH telah menegaskan, bahwa kita akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi, apabila kita tidak secara utuh mempedomani konsep tersebut (baca; Alquran dan Sunnah). (Albaqarah: 58)
Sangat ironis kalau sebagai umat Islam kita malah berkiblat pada ekonomi liberalis kapitalis yang berpegang pada “kitab suci”nya Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth Nation (atau yang kita kenal sebagai The Wealth Nationnya Adam Smith. Dan ekonomi sosialis komunis yang berpegang pada “kitab suci” Das Capitalnya Karl Max. Sementara kita sendiri punya kitab yang maha mulia yang menjadi acuan dan pedoman dalam segala hal yaitu Alquran dan Hadits Nabi
Saatnyalah bagi kita yang masih mengimani Alquran sebagai pedoman hidup dan hadits sebagai panduan aktivitas dalam memperkenalkan kepada sejarah bahwa kita telah menemukan sebuah rancang bangun sistem ekonomi yang dapat menghantarkan umat manusia mencapai kesejahteraannya di atas pijakan keadilan. Islam memiliki solusi terhadap distorsi yang selama ini melingkupi bangunan ekonomi konvensional.
Pada tataran teori, ekonomi Islam menyumbangkan beberapa prinsip-prinsip dasar dalam bangun ekonomi seperti ekonomi tanpa bunga. Bangun ekonomi seperti ini sangat berbeda dengan ekonomi konvensional yang menempatkan suku bunga sebagai variable yang sangat menentukan kecenderungan konsumsi dan investasi. sementara tingkat kecenderungan investasi bagi konsumen muslim akan lebih besar dari pada konsumen konvensional. Hal ini disebabkan karena konsumen muslim dibatasi dalam hal konsumsi bukan hanya pada jenis barang dan jasa yang halal saja tetapi juga pembatasan jumlah konsumsi. Dengan demikian kecenderungan investasi bagi konsumen muslim relative akan lebih besar. Hal tersebut disebabkan konsumen muslim juga didorong oleh keinginan untuk meningkatkan zakat, infaq dan sedekah (ZIS) nya. Perlu diingat bahwa fungsi utilitas konsumen muslim tidak hanya ditentukan oleh jumlah barang dan jasa yang dikonsumsinya, tetapi juga jumlah zakat yang dikeluarkannya. sehingga ZIS merupakan variable yang sangat berpengaruh terhadap penentuan investasi seorang konsumen muslim.
Factor utama yang akan membedakan fungsi investasi antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional adalah larangan sukubunga dan spekulasi. Larangan spekulasi dalam ekonomi Islam berimplikasi terhadap prilaku ekonomi antara lain: (a) pelaku ekonomi Islam tidak akan menyalurkan investasinya pada usaha yang hanya mencari keuntungan dari capital gains tetapi investasi harus dibuat menjadi aktif dan nyata yang akan menggerakkan ekonomi secara riil; (b) tidak adanya permintaan akan uang untuk tujuan spekulasi (speculative motive) membuat perekonomian akan lebih stabil; (c) karena tidak ada aktivitas spekulasi dalam pasar modal, maka dalam jangka pendek tingkat keuntungan yang diharapkan dari suatu investasi (marginal efficiency of capital) akan lebih stabil.
Islam juga melarang dana tidak produktif (hoarding idle assets) sekurang-kurangnya asset tersebut akan terkena zakat bila memenuhi nisab dan haulnya sebab ongkos opportunitas (opportunity cost) tidak akan menjadi nol terhadap harta yang tidak atau kurang produktif, sementara asset yang diinvestasikan tidak terkena beban zakat kecuali hanya hasil (return) dari investasi tersebut yang akan dikenai zakat. Implementasi dari ajaran ini adalah bahwa ekonomi Islam mendorong investasi sebagai alternative dari para pemegang uang (asset) yang kurang produktif atau “uang dibawah bantal”. dengan kata lain ekonomi Islam cenderung lebih dinamis dibandingkan ekonomi konvensional.
Sebagai gambaran sederhana ekonomi Islam mempunyai beberapa prinsip-prinsip dasar yang membedakannya dengan ekonomi konvensional:
1. Di dalam ekomomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah SWT kepada manusia yang harus dimanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin (tidak mubazir: Al Israa: 26,27) dalam memproduksi barang dan jasa. Produksi tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia guna mewujudkan kesejahteraan bersama (collective principle) sebagai pemakmuran bumi (huud: 61), yang kemudian akan dipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat nanti (dimensi eskatologis). Prinsip ini berimplikasi penting terhadap konsep kepemilikan asset dan alat produksi. Karena itu aktivitas ekonomi seorang muslim didorong oleh motivasi impersonal dalam rangka memenuhi tanggungjawabnya sebagai orang yang beriman, semata-mata didiorong oleh motivasi untuk memperoleh ridho allah swt. Motivasi seperti ini berbeda dan bertentangan dengan prinsip kapitalis yang mendasarkan (motivasinya) pada kepentingan diri sendiri (self interest principle)
2. Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat atau faktor produksi. Pemilikan pribadi (individu) bersifat tidak mutlak, karena kepemilikan mutlak hanya oleh Maha Pencipta Allah SWT (An-Najm: 31; Thaha: 6; Yunus: 66). Pemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan merupakan titipan (amanah) Allah kepada manusia. Alat dan faktor produksi di tangan manusia hanya bersifat penguasaan dalam bentuk pemanfaatan dan pengaturan sesuai dengan petunjuk Allah SWT. Islam menghargai kekayaan pribadi sebagai amanah suci yang harus dinikmati dan dimanfaatkan untuk kepentingan semuanya terutama untuk kaum fakir miskin dan yang membutuhkannya. Karena itu zakat, infak dan sadaqah merupakan institusi (variable) yang sangat berperan dalam ekonomi Islam.
3. Islam menolak (tidak membenarkan) pendapatan yang diperoleh secara tidak halal (bathil), seperti pencurian, penipuan, kecurangan, penyuapan, penjualan barang-barang dan jasa yang haram, penggunaan kiat-kiat yang manipulatif, keuntungan yang berlebihan dengan cara yang bersifat tidak terpuji, penimbunan barang dan penggunaan iklan yang mengelabui dan tidak wajar.
4. Pemilikan (penguasaan) kekayaan pribadi termasuk factor dan alat produksi sebagai capital produktif yang akan mendorong peningkatan produksi nasional untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Karena itu, pola pembagian harta (pendapatan) termasuk warisan harus bersifat produktif dan menyebar keseluruh sistem ditribusi, terutama penyebaran (transfer) dari golongan kaya kepada golongan miskin melalui institusi ZIS dan kerjasama. Prinsip ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi capital yang terpusat pada segelintir orang atau kelompok yang memperburuk distribusi pendapatan.
5. Penggerak utama ekonomi Islam adalah kerjasama dengan landasan ketauhidan, keikhlasan, kejujuran dan keadilan serta hanya mengharapkan keuntungan yang wajar. Ekonomi Islam menolak segala macam bentuk eksploitasi yang mengejar keuntungan yang maksimum (Al Imran: 130)
Dan realitas kekinian telah menunjukkan bahwa dengan sistem syariah, keadilan berekonomi bisa ditegakkan yang akan berujung pada terciptanya sebuah stabilitas ekonomi yang memungkinkan semua pihak dapat mengakses secara adil potensi-potensi ekonomi yang tersedia. Industri perbankan misalnya dengan prinsip bagi hasilnya telah menunjukan eksistensinya dari hantu “negative spread” yang menjadi momok menakutkan bagi bank konvensional.
Kalau demikian adanya maka tidak ada tawar menawar lagi, obat mujarab bagi masalah perekonomian Indonesia adalah ekonomi Islam dari sudut pandang manapun ekonomi ilahiah (Islam) adalah sebuah keharusan bagi kebangkitan ekonomi Indonesia. wallahu ‘alam bishshawaf.
Thanks to: Iwan Marie Odong, SHi
0 komentar:
Posting Komentar